Sabtu, 07 November 2009
MEMBEKALI AKAL DENGAN ‘ILMU YANG BENAR II
Tawassul ghairu syar’I (yang tidak syar'i)
1. Meminta do'a orang mati. Itu tidak boleh. Karena mayat itu tidak dapat berdo'a seperti dulu ketika ia masih hidup. Dan tidak boleh meminta syafa'at kepada orang mati. Karena Umar bin Khathab dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan orang-orang yang menemui zaman keduanya yaitu para sahabat dan tabi'in yang baik-baik, ketika mereka mengalami kekeringan, mereka meminta do'a untuk minta hujan, bertawassull, dan minta didoakan untuk dilepaskan dari penderitaan kepada orang yang masih hidup seperti Al-Abbas dan Yazid bin Al-Aswad. Mereka tidak bertawassul, minta syafa'at, dan minta dido'akan agar terlepas dari penderitaan kepada Nabi ` yang telah wafat, tidak di sisi kuburnya dan tidak di sisi lainnya. Tetapi estafet kepada yang masih hidup seperti Al-Abbas dan Yazid. Dan Umar berkata: "Ya Allah, kami dulu bertawassul dengan NabiMu (dalam memohon) kepadaMu, maka Kamu turunkan hujan kepada kami, dan kami sekarang bertawassul dengan paman nabiMu (yang masih hidup) maka turunkanlah hujan kepada kami."
Jadi mereka bertawassul dengan yang masih hidup sebagai pengganti yang telah wafat karena bertawassul dengan yang sudah wafat menurut syari'at yang mereka amalkan tidak dibolehkan.
2. Tawassul dengan jaahin Nabi (pangkat Nabi) dan pangkat orang lain tetap tidak boleh.
Adapun hadits yang berbunyi: "Apabila kamu meminta pada Allah maka mintalah dengan perantaraan pangkatku (Nabi), karena pangkatku itu di sisi Allah adalah besar." Ini adalah hadits bohong. Tidak ada sama sekali kitab orang muslim yang bersandar padanya, dan tak seorang ahli ilmu pun yang menyebutkan hadits ini (Majmu' Al-Fatawa 10/ 319). Selama tidak ada dalil yang sah dalam hal ini maka tetap tidak boleh, karena ibadah tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil yang shahih lagi jelas.
3. Tawassul dengan dzat makhluq, tetap tidak boleh.
(Seperti dalam syair: Ya Robbi bil Musthofaa balligh maqooshidanaa...)(Wahai Tuhanku, capaikanlah maksud tujuan kami -lantaran- Nabi pilihan -Muhammad-), tawassul seperti itu tidak boleh. Karena lafaz "bil" itu kalau untuk sumpah berarti bersumpah dengan makhluq atas Allah Ta'ala. Sedangkan kalau sumpah dengan makhluq itu atas makhluq pula maka tidak boleh juga karena hal itu merupakan syirik (menyekutukan Allah) seperti ditetapkan oleh Hadits. Lantas bagaimana pula bersumpah dengan makhluq atas Khaliq Jalla wa 'Ala?
Dan kalau lafazh "bil" itu untuk sababiyah (sebab) maka Allah subhanahu wataala tidak menjadikan permintaan dengan (perantaraan) makhluk itu sebagai sebab untuk diijabahinya (doa) dan tidak disyari'atkan untuk hambaNya.
4. Tawassul dengan hak makhluq pun tidak boleh, karena ada dua alasan:
Pertama, tidak ada hak manusia yang mewajibkan Allah. Hanya Allah-lah yang memberikan keutamaan atas makhluk, seperti dalam firmanNya, artinya: "Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman." (Ar-Ruum: 47).
Keadaan orang yang taat itu berhak mendapatkan balasan yaitu hak keutamaan dan keni'matan. Dan bukan hak saling membalas seperti hak makhluk atas sesama makhluk.
Kedua, hak yang Allah berikan keutamaan padanya atas hambaNya adalah hak khusus untuk hamba itu sendiri, tidak ada hubungannya dengan orang lain. Maka apabila orang lain yang tidak berhak lalu bertawassul pada orang yang berhak maka berarti bertawassul dengan perkara yang tidak ada hubungannya, dan ini tidak memberi faedah sedikitpun.
Adapun hadits yang ada perkataan: as-aluka bihaqqis saailin (aku memohon padaMu dengan hak orang-orang yang memohon) itu hadits yang tidak shahih (lam yatsbut) karena sanadnya ada 'Athiyah Al-Aufiy yang ia itu kompleks kedha'ifannya seperti dikatakan oleh sebagian Muhadditsin. Demikian pula hal itu tidak diperlukan untuk menjadi alasan dalam masalah aqidah yang penting ini. (At-Tauhid, hal. 56-58).
Demikianlah contoh membekali akal dengan ilmu yang bermanfaat, dalam hal ini tentang tawassul yang boleh dan yang tidak boleh.
Pentingnya ilmu yang bermanfaat
Ilmu itu menggantikan kedudukan kepemimpinan dan harta benda. Barangsiapa telah mendapatkan ilmu maka berarti telah mendapatkan segala sesuatu.
Di balik itu, buku-buku khurafat (kepercayaan yang batil) dan lawakan/banyolan (al-mujuun , termasuk di dalamnya hal-hal yang porno) itu akan membuyarkan akhlak, merusak pemikiran dan hati. Hal itu akan mendorongnya untuk mengikuti ahli keburukan, dan itu sebenarnya adalah berfungsi sebagai perusak iman dan hati, sebagaimana api membakar rumput kering. Demikian menurut Syeikh Abdur Rahman bin nashir As-Sa'di (1308-1376H) dalam kitabnya Intisharul Haq, Maktabah Adhwaa' Assalaf, Riyadh, cetakan I, 1998M/1419H, hal. 33-34). (Hartono/Al-Sofwah).
1. Meminta do'a orang mati. Itu tidak boleh. Karena mayat itu tidak dapat berdo'a seperti dulu ketika ia masih hidup. Dan tidak boleh meminta syafa'at kepada orang mati. Karena Umar bin Khathab dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan orang-orang yang menemui zaman keduanya yaitu para sahabat dan tabi'in yang baik-baik, ketika mereka mengalami kekeringan, mereka meminta do'a untuk minta hujan, bertawassull, dan minta didoakan untuk dilepaskan dari penderitaan kepada orang yang masih hidup seperti Al-Abbas dan Yazid bin Al-Aswad. Mereka tidak bertawassul, minta syafa'at, dan minta dido'akan agar terlepas dari penderitaan kepada Nabi ` yang telah wafat, tidak di sisi kuburnya dan tidak di sisi lainnya. Tetapi estafet kepada yang masih hidup seperti Al-Abbas dan Yazid. Dan Umar berkata: "Ya Allah, kami dulu bertawassul dengan NabiMu (dalam memohon) kepadaMu, maka Kamu turunkan hujan kepada kami, dan kami sekarang bertawassul dengan paman nabiMu (yang masih hidup) maka turunkanlah hujan kepada kami."
Jadi mereka bertawassul dengan yang masih hidup sebagai pengganti yang telah wafat karena bertawassul dengan yang sudah wafat menurut syari'at yang mereka amalkan tidak dibolehkan.
2. Tawassul dengan jaahin Nabi (pangkat Nabi) dan pangkat orang lain tetap tidak boleh.
Adapun hadits yang berbunyi: "Apabila kamu meminta pada Allah maka mintalah dengan perantaraan pangkatku (Nabi), karena pangkatku itu di sisi Allah adalah besar." Ini adalah hadits bohong. Tidak ada sama sekali kitab orang muslim yang bersandar padanya, dan tak seorang ahli ilmu pun yang menyebutkan hadits ini (Majmu' Al-Fatawa 10/ 319). Selama tidak ada dalil yang sah dalam hal ini maka tetap tidak boleh, karena ibadah tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil yang shahih lagi jelas.
3. Tawassul dengan dzat makhluq, tetap tidak boleh.
(Seperti dalam syair: Ya Robbi bil Musthofaa balligh maqooshidanaa...)(Wahai Tuhanku, capaikanlah maksud tujuan kami -lantaran- Nabi pilihan -Muhammad-), tawassul seperti itu tidak boleh. Karena lafaz "bil" itu kalau untuk sumpah berarti bersumpah dengan makhluq atas Allah Ta'ala. Sedangkan kalau sumpah dengan makhluq itu atas makhluq pula maka tidak boleh juga karena hal itu merupakan syirik (menyekutukan Allah) seperti ditetapkan oleh Hadits. Lantas bagaimana pula bersumpah dengan makhluq atas Khaliq Jalla wa 'Ala?
Dan kalau lafazh "bil" itu untuk sababiyah (sebab) maka Allah subhanahu wataala tidak menjadikan permintaan dengan (perantaraan) makhluk itu sebagai sebab untuk diijabahinya (doa) dan tidak disyari'atkan untuk hambaNya.
4. Tawassul dengan hak makhluq pun tidak boleh, karena ada dua alasan:
Pertama, tidak ada hak manusia yang mewajibkan Allah. Hanya Allah-lah yang memberikan keutamaan atas makhluk, seperti dalam firmanNya, artinya: "Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman." (Ar-Ruum: 47).
Keadaan orang yang taat itu berhak mendapatkan balasan yaitu hak keutamaan dan keni'matan. Dan bukan hak saling membalas seperti hak makhluk atas sesama makhluk.
Kedua, hak yang Allah berikan keutamaan padanya atas hambaNya adalah hak khusus untuk hamba itu sendiri, tidak ada hubungannya dengan orang lain. Maka apabila orang lain yang tidak berhak lalu bertawassul pada orang yang berhak maka berarti bertawassul dengan perkara yang tidak ada hubungannya, dan ini tidak memberi faedah sedikitpun.
Adapun hadits yang ada perkataan: as-aluka bihaqqis saailin (aku memohon padaMu dengan hak orang-orang yang memohon) itu hadits yang tidak shahih (lam yatsbut) karena sanadnya ada 'Athiyah Al-Aufiy yang ia itu kompleks kedha'ifannya seperti dikatakan oleh sebagian Muhadditsin. Demikian pula hal itu tidak diperlukan untuk menjadi alasan dalam masalah aqidah yang penting ini. (At-Tauhid, hal. 56-58).
Demikianlah contoh membekali akal dengan ilmu yang bermanfaat, dalam hal ini tentang tawassul yang boleh dan yang tidak boleh.
Pentingnya ilmu yang bermanfaat
Ilmu itu menggantikan kedudukan kepemimpinan dan harta benda. Barangsiapa telah mendapatkan ilmu maka berarti telah mendapatkan segala sesuatu.
Di balik itu, buku-buku khurafat (kepercayaan yang batil) dan lawakan/banyolan (al-mujuun , termasuk di dalamnya hal-hal yang porno) itu akan membuyarkan akhlak, merusak pemikiran dan hati. Hal itu akan mendorongnya untuk mengikuti ahli keburukan, dan itu sebenarnya adalah berfungsi sebagai perusak iman dan hati, sebagaimana api membakar rumput kering. Demikian menurut Syeikh Abdur Rahman bin nashir As-Sa'di (1308-1376H) dalam kitabnya Intisharul Haq, Maktabah Adhwaa' Assalaf, Riyadh, cetakan I, 1998M/1419H, hal. 33-34). (Hartono/Al-Sofwah).
0 komentar: