Selasa, 10 November 2009
Takut Sebagai Penyakit
Orang yang takut kualat jika berlaku sembrono di kuburan para wali/orang keramat, adalah orang sakit jiwa, yaitu bahwa jiwanya tidak sehat. Dia meyakini kuburan-kuburan itu sebagai sesuatu yang keramat. Penghuni kuburan itu dianggap memiliki kekuatan-kekuatan tertentu atau kemampuan-kemampuan yang tak bisa ditangkap dengan pancaindera, sehingga bisa melakukan hal-hal yang sebenarnya merupakan kewenangan Allah, misalnya mendatangkan manfaat atau mudharat. Padahal orang-orang mati itu, mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu.
Orang-orang yang tidak takut kepada Allah, tetapi justru takut kepada hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu ditakuti, pertanda bahwa jiwa atau hatinya sakit. hati atau jiwanya terkena kotoran. Suatu kotoran yang berbahaya, karena kotoran itu adalah penyakit syirik.
Tidak ada kotoran hati yang lebih besar dari pada kotoran syirik. Sedangkan syirik adalah dosa besar yang tidak akan diampuni Allah kecuali dengan taubat, sebagaimana firman-Nya : Sesunguhnya Allah tidak akan mengampuni perbutan dosa syirik kepada-Nya. (An-Nisa :48 dan 116).
Mengobati dan membersihkan penyakit jiwa atau hati ini tentu tidak dengan melakukan amalan-amalan dzikir atau wirid ala tasawuf. Karena dengan pola itu justru orang semakin kotor jiwanya., sekalipun sepintas terlihat bertambah alim. Tetapi sebenarnya jiwa atau hatinya tambah berpenyakit. Sebab ajaran tasawuf (kuno maupun medern) adalah ajaran bid'ah (baca selengkapnya di Majalah As-Sunnah no. 17 tahun II tentang Wajah Sufi).
Setiap ajaran yang bid'ah dan menyimpang dari syari'at berarti kotor. Hanya akan menambah jiwa orang semakin kotor, sekalipun secara lahirnya tampak seperti orang suci.
Padahal kehadiran semua Rasul Allah, termasuk Nabi Muhamad shalallahu 'alaihi wasallam tidak lain hanyalah untuk membawa misi pembersihan dan penyehatan jiwa atau hati. Allah berfirman : Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (al- Jumu''ah;2)
Untuk sisi itu maka yang dilakukan oleh para Rasul adalah pemberantasan kemusyrikan dan penegakan tauhid. Sebab kemusyrikan adalah kotoran, penyakit, kedhaliman dan kejahatan. Sedangkan tahuid adalah kebersihan, kesehatan, keadilan dan kebaikan. Semua kebaikan dan keadilan ada dalam tauhid.
Sebaliknya semua kejahatan dan ketidak-adilan ada dalam syirik. Karena itu setiap orang musyrik (dan kafir) pasti tidak baik dan tidak adil. sebaiknya pada diri orang mukmin pasti ada rasa keadilan, meskipun selalu membutuhkan penyempurnaan. Kalaupun ada ketidak- adilan pada diri mukmin, itu hanya bersifat parsial tidak menyeluruh.
Maka pemberantasan kemusyrikan yang berarti pemberantasan penyakit hati atau jiwa adalah dengan menegakkan ajaran tauhid yang telah diajarkan oleh para Rasul Allah, semenjak Nabi Nuh hingga Muhamad shalallahu 'alaihi wasallam. Salah satu sisinya adalah mengarahkan potensi rasa takut agar hanya tertuju kepada Allah semata dan tidak takut kepada hal-hal yang aneh yang menyebabkan kemusyrikan. Sehingga, acara pembakaran kemenyan, pembuatan sesajian dan azimat-azimat dengan berbagai ragamnya harus disingkirkan jauh-jauh.
(Sumber : Assunnah edisi 05/IV/1420-1999)
Orang-orang yang tidak takut kepada Allah, tetapi justru takut kepada hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu ditakuti, pertanda bahwa jiwa atau hatinya sakit. hati atau jiwanya terkena kotoran. Suatu kotoran yang berbahaya, karena kotoran itu adalah penyakit syirik.
Tidak ada kotoran hati yang lebih besar dari pada kotoran syirik. Sedangkan syirik adalah dosa besar yang tidak akan diampuni Allah kecuali dengan taubat, sebagaimana firman-Nya : Sesunguhnya Allah tidak akan mengampuni perbutan dosa syirik kepada-Nya. (An-Nisa :48 dan 116).
Mengobati dan membersihkan penyakit jiwa atau hati ini tentu tidak dengan melakukan amalan-amalan dzikir atau wirid ala tasawuf. Karena dengan pola itu justru orang semakin kotor jiwanya., sekalipun sepintas terlihat bertambah alim. Tetapi sebenarnya jiwa atau hatinya tambah berpenyakit. Sebab ajaran tasawuf (kuno maupun medern) adalah ajaran bid'ah (baca selengkapnya di Majalah As-Sunnah no. 17 tahun II tentang Wajah Sufi).
Setiap ajaran yang bid'ah dan menyimpang dari syari'at berarti kotor. Hanya akan menambah jiwa orang semakin kotor, sekalipun secara lahirnya tampak seperti orang suci.
Padahal kehadiran semua Rasul Allah, termasuk Nabi Muhamad shalallahu 'alaihi wasallam tidak lain hanyalah untuk membawa misi pembersihan dan penyehatan jiwa atau hati. Allah berfirman : Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (al- Jumu''ah;2)
Untuk sisi itu maka yang dilakukan oleh para Rasul adalah pemberantasan kemusyrikan dan penegakan tauhid. Sebab kemusyrikan adalah kotoran, penyakit, kedhaliman dan kejahatan. Sedangkan tahuid adalah kebersihan, kesehatan, keadilan dan kebaikan. Semua kebaikan dan keadilan ada dalam tauhid.
Sebaliknya semua kejahatan dan ketidak-adilan ada dalam syirik. Karena itu setiap orang musyrik (dan kafir) pasti tidak baik dan tidak adil. sebaiknya pada diri orang mukmin pasti ada rasa keadilan, meskipun selalu membutuhkan penyempurnaan. Kalaupun ada ketidak- adilan pada diri mukmin, itu hanya bersifat parsial tidak menyeluruh.
Maka pemberantasan kemusyrikan yang berarti pemberantasan penyakit hati atau jiwa adalah dengan menegakkan ajaran tauhid yang telah diajarkan oleh para Rasul Allah, semenjak Nabi Nuh hingga Muhamad shalallahu 'alaihi wasallam. Salah satu sisinya adalah mengarahkan potensi rasa takut agar hanya tertuju kepada Allah semata dan tidak takut kepada hal-hal yang aneh yang menyebabkan kemusyrikan. Sehingga, acara pembakaran kemenyan, pembuatan sesajian dan azimat-azimat dengan berbagai ragamnya harus disingkirkan jauh-jauh.
(Sumber : Assunnah edisi 05/IV/1420-1999)
0 komentar: